Langsung ke konten utama

Bicara Uang Bukan Berarti Matre

Pernah dengar celotehan, "Duit itu akar segala kejahatan!" atau "Ah, dia mata duitan!"

Klise, basi, dan jujur saja, itu omong kosong yang sudah saatnya kita kubur dalam-dalam. Mari kita bongkar tuntas tiga mitos besar soal uang yang selama ini membelenggu pikiran banyak orang. Siap untuk unlearning dan mengisi gelas pikiranmu dengan perspektif baru? Gas!

1. "Uang itu Jahat?" — Coba Cek Kacamata dan Pengalamanmu Dulu!


Ini adalah narasi paling usang yang terus diwariskan turun-temurun: "Money is evil." Tapi coba pikir lagi, apa iya selembar uang kertas atau angka di rekening bank itu punya niat jahat? Tentu saja tidak! Uang itu netral, ia hanyalah alat, sebuah medium pertukaran.

Kejahatan atau kebaikan itu muncul dari tangan yang memegangnya, dari niat di baliknya.

Pernah lihat uang dipakai untuk membangun rumah sakit, membiayai penelitian obat kanker, atau mendirikan sekolah gratis? Di tangan mereka yang berempati, uang menjelma menjadi jembatan kebaikan, penyelamat, dan pembangun peradaban.

Pernah dengar uang dipakai untuk korupsi, penipuan, atau tindak kriminal? Nah, di sinilah letak masalahnya. Bukan uangnya yang jahat, tapi keserakahan, egoisme, atau keputusasaan manusianya yang membuat uang jadi alat untuk hal-hal negatif.

Sudut pandangmu dan pengalaman masa lalumu adalah filter utamamu. Mungkin kamu pernah melihat seseorang hancur karena uang, atau keluargamu berkonflik hebat karena harta. Pengalaman-pengalaman ini tanpa sadar membentuk narasi negatif di kepalamu tentang uang.

Penting untuk introspeksi: Apakah pandanganmu tentang uang murni dari fakta, atau lebih banyak dari trauma masa lalu, cerita orang lain, atau bahkan dogma yang tidak pernah kamu pertanyakan? Saatnya ganti lensamu. Uang bukan masalahnya, niat manusianya yang harus jadi sorotan.

2. Bicara Uang = Tidak Tabu, Titik!


Di Indonesia, obrolan tentang uang sering dianggap tabu. Rasanya seperti ada dinding tak kasat mata yang menghalangi kita membahas gaji, investasi, atau bahkan tagihan. Padahal, ini adalah salah satu akar masalah kenapa banyak orang kesulitan finansial atau terjebak utang.

Membahas uang secara terbuka itu justru kunci kesehatan finansial.

Edukasi: Bagaimana bisa kita belajar mengelola uang, berinvestasi, atau bernegosiasi gaji jika kita tidak pernah membicarakannya? Diskusi terbuka memungkinkan kita bertukar ilmu, tips, dan strategi keuangan.

Transparansi: Dalam hubungan (pasangan, keluarga, bisnis), transparansi finansial itu esensial. Menyimpan rapat-rapat soal uang justru bisa memicu kecurigaan dan konflik di kemudian hari.

Negosiasi: Bagaimana kamu bisa mendapatkan gaji yang layak jika kamu tidak berani membahasnya? Bagaimana kamu tahu nilai pasaran jasamu jika kamu enggan bertanya pada teman atau kolega yang sebidang?

Mengapa kita merasa tabu? Seringkali karena malu, takut dihakimi, atau takut dicap sombong kalau punya banyak uang, atau dicap gagal kalau punya sedikit. Mindset ini harus dihilangkan. Uang adalah bagian integral dari kehidupan modern. Mengabaikannya sama saja mengabaikan kesehatan atau pendidikanmu. Mari mulai normalisasi obrolan tentang uang, tentu saja dengan etika dan batasan yang wajar.

3. Bicara Duit Itu Tidak Sama dengan Matre — Ayo Bedakan Prioritas dan Obsesi!


Ini dia cap lain yang sering dilabelkan: "Matre!" saat seseorang membahas uang, bernegosiasi gaji, atau memilih pasangan dengan pertimbangan finansial. Padahal, ini adalah generalisasi yang dangkal dan tidak adil.

Memprioritaskan stabilitas finansial dan masa depan yang aman itu bukan "matre", tapi bijak dan realistis.

"Matre" itu biasanya merujuk pada obsesi berlebihan terhadap uang tanpa memandang nilai-nilai lain, bahkan rela mengorbankan prinsip atau moral demi uang. Mereka yang matre mungkin tidak peduli bagaimana uang itu didapat, yang penting dapat. Mereka mungkin tidak peduli pada orang lain, fokusnya hanya pada keuntungan pribadi.

Namun, ketika seseorang bicara uang karena dia ingin:
  • Membayar tagihan tepat waktu
  • Menyekolahkan anaknya di tempat terbaik
  • Membantu orang tua
  • Mencapai kebebasan finansial untuk tidak lagi khawatir soal hari esok
  • Membangun bisnis yang memberikan dampak positif
  • Bahkan, sekadar bisa makan enak dan jalan-jalan sesekali untuk mental health

Ini bukan "matre", ini adalah tanggung jawab, perencanaan, dan aspirasi yang sehat. Menutup mata pada realitas finansial justru bisa menjerumuskanmu pada masalah. 

Seseorang yang "mempertimbangkan" aspek finansial dalam keputusan hidupnya (misalnya memilih pekerjaan atau pasangan) bukan berarti ia tidak punya cinta atau tidak punya nilai. Itu artinya ia memikirkan masa depan secara holistik.


Saatnya Unlearning, Saatnya Mengisi Gelas Baru

Pikiran kita, ibarat gelas. Jika ia sudah penuh dengan dogma usang tentang uang, tidak ada ruang untuk pemahaman baru. Mari kita kosongkan "gelas" itu:

Buanglah mitos: Uang itu netral. Niat dan tindakanmu yang membuatnya baik atau buruk.

Hancurkan tabu: Bicara uang itu penting, edukatif, dan memberdayakan.

Pisahkan obsesi dari prioritas: Mengejar stabilitas finansial itu cerdas, bukan matre.

Setelah gelas itu kosong, barulah kita bisa mengisinya dengan pemahaman baru: bahwa uang adalah alat untuk mencapai tujuan, bahwa uang bisa menjadi sarana kebaikan, bahwa uang adalah energi yang harus kita kelola dengan bijak.

Jadi, lain kali ada yang bilang "Uang itu jahat!", tersenyumlah dan tanyakan, "Yakin? Atau pengalamanmu yang jahat?"

Komentar

  1. Prinsip yang diajarkan pengalaman hidup : uang memang bukan segalanya, tapi dengan uang segalanya akan lebih bermakna.
    Saya setuju dengan contoh nyatanya misalnya dalam memilih edukasi yang terbaik untuk anak, tak bisa dipungkiri juga, ada uang ada kualitas.

    BalasHapus
  2. Waduh, kok aku relate banget ya mbak? Uang itu bukan setan, tapi alat. Yang penting niat dan cara pakainya, sip. Makasih udah bantu “reset” cara pikir soal duit. Udah waktunya kita berhenti malu bahas uang, demi hidup yang lebih waras dan sehat finansial.

    BalasHapus
  3. Saya setuju sekali. Benda apapun akan baik atau Tidak baik tergantung yang memegangnya ya Mbak. Sama kayak uang. Uang jadi baik Tau jahat tergantung yang memegangnya.

    Jadi uang itu hadir untuk membantu dan digunakan dengan bijak agar memberikan manfaat.

    BalasHapus
  4. Artikelnya menohok banget. Aku nih termasuk rada terlambat menata investasi. Sekarang kan pilihan instrumennya banyak banget. Cobak dulu aku belajar dan engga sungkan tahu banyak soal perduitan, mungkin aku udah keliling dunia. Haha...

    BalasHapus
  5. Iya uang itu jahat kak... Pengalaman ada beberapa teman/saudara nggak bayar hutang jadi membuat hubungan yang seharusnya baik jadi renggang bahkan terputus. Sedih sih...

    BalasHapus
  6. Sering dengar istilah matre.
    Tapi istilah uang itu jahat belum pernah dengar sebelumnya.
    Bagi saya uang itu ngga jahat, sih. Malah sebaliknya, uang itu kebutuhan pokok yang memang harus kita punya.
    Jadi darimana jahatnya, yaa...
    Kecuali punya uang banyak bangeet, terus ngga tau untuk apa dan niat digunakan utk kejahatan, ya...
    Jadi betul, dari mindset yang baik, akan lahir hal2 yang baik

    BalasHapus
  7. Setuju Mbak Tanti, sampai sekarang masih banyak yang beranggapan ngomongin uang itu "ora elok" alias tabu, padahal hidup bakal lebih nyaman dengan transparansi keuangan
    Terlebih untuk pasutri muda, andai sebelum nikah urusan uang sudah dibicarakan pastinya gak muncul keributan
    Ada lho pasangan yang bercerai gara2 suaminya sering memberi uang untuk ibunya. Jumlahnya memang wow, tapi kan bisa dibicarain

    BalasHapus
  8. Makjleb Mbak. Kita seringkali terpaku dengan asumsi tanpa memandang sesuatu dari sudut yang berbeda. Kita selalu merasa benar padahal sejatinya banyak orang lain di luar sana yang lebih baik, lebih pintar, lebih bijak dari diri kita. MENGOSONGKAN GELAS. Analogi yang pas banget saat kita ingin belajar dan mengisi diri kita dengan sesuatu yang baru. Konsep yang membuat kita mau terbuka, mau belajar, dan mau mengisi diri.

    Seneng banget saya baca tulisan ini. Semoga ini menjadi titik awal bagaimana kita memandang MAKNA UANG. Semua toh sejatinya akan kembali kepada kita. Uang benar hanyalah alat tapi bagaimana uang itu menjadi manfaat atau sesuatu yang menyesatkan semua akan kembali kepada kita. Sang pengguna.

    BalasHapus
  9. Setujuuu...uang adalah energi yang harus kita kelola dengan bijak.
    Benar jika bicara tentang uang bukan berarti matre, keterbukaan soal keuangan itu penting...Misalnya, di antara pasutri. Kalau tidak terbuka, masing-masing saling menyembunyikan pemasukan dan pengeluaran keuangannya ya yang ada saling curiga.
    Pernah dengar sendiri, kakak ipar sama istrinya meledak, berantem saling tuduh siapa ngabisin uang berapa dst pas lagi mudik bareng di rumah mertua. Waduh!!

    BalasHapus
  10. Nah itulah, masih banyak orang terjebak kalau ngobrolin uang adalah tabu padahal kudu diobrolin apalagi yang ngobrolin adalah suami istri atau teman usaha haha.
    Tapi memang di satu sisi, soal edukasi finansial kyknya emang lebih banyak dibicarakan oleh orang2 yang duitnya banyak, kalau duitnya ngepas, di zaman now ya emang habis buat makan aja.
    Itulah sebabnya kalau ada kelebihan rezeki (uang) sebaiknya segera diiobrolin baiknya diapapin, diinvestasikan atau apain, jangan diam2 lalu tiba2 menguap nangis hehe.

    BalasHapus
  11. Kalo dipikirkan, uang gak jahat loh.
    Yang membuatnya terkesan jahat hingga sampe matre adalah si pelakunya, karena yang tidak bisa mengelola dan mindsetnya apa-apa tuh uang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yups bener sekali. Sebenernya pinter2 orang aja sih kalo soal uang, dan setiap orang harus bisa memenejemen keuangan dengan baik, dan memaknai matre dari sisi positifnya saja, kadang itu terjadi karena bukan kemauan si matre, cuma karena kebutuhan atau kondisi terpaksa hehe, seringnya yang ditemukan gini sih.

      Hapus
  12. Ka Tanti di blog barunya mengedukasi pembaca melalui diskusi yang seruu dan sudut pandang baruu..
    Sukaaa sekaliii..

    Aku termasuk orang yang tabu membicarakan uang.
    Sampai di titik, ternyata anak keduaku kerap membandingkan 2 hal dari sisi biaya.

    Misal.
    Aku beli tas baru dengan harga sekian ratus ribu.
    Kata anakku, dengan harga segitu, aku bisa menabung emas, yang manaa.. ini efeknya lebih jangka panjang dan nilainya engga turun.

    Ituu.. karena tas yang aku beli gak se-worthed ituu..
    Beda cerita kalau tasnya se-heboh punya KD or Aurel yaa.. yang nilainya fantastis sehingga bisa dijadikan investasi juga.

    ini keren siiyh..
    Mengubah pola pikir mengenai uang itu ga gampang. Tapi menjadi diskusi yang menarik ketika bertemu dengan orang se-sensi akuuu tentang UANG.

    BalasHapus
  13. Karena yang jahat sebetulnya orangnya. Seseorang yang gak amanah atau menyalahgunakan uang. Memang harusnya jangan sampai menabukan ngobrol tentang uang Malah bagus kalau udah punya literasi keuangan sedini mungkin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia yang Penuh Para Penjual Perabot

  Mari kita jujur. Dunia ini mirip showroom IKEA pas weekend. Ramai, warna-warni, dan setiap orang sibuk jualan "perabot" masing-masing. 

5 ALASAN KENAPA ORANG YANG LAGI SUSAH MENOLAK TAWARAN KERJA DI DUNIA MARKETING

Ada teman yang lagi susah, butuh duit, tapi begitu ditawarin kerja di dunia marketing, malah nolak mentah-mentah. Kenapa begitu? Padahal kan butuh banget pemasukan? Ini beberapa alasan kenapa orang yang lagi kesusahan sekalipun bisa menolak tawaran kerja di dunia marketing, padahal secara logika itu solusi: 1. Stigma Negatif yang Melekat Ini mungkin alasan paling kuat. Dunia marketing itu punya stigma yang buruk di mata banyak orang, sering banget dikaitkan dengan hal-hal yang kurang etis: Pencitraan Buruk "Sales": Banyak yang langsung mikir "sales" kalau dengar marketing. Dan "sales" itu sering diidentikkan dengan maksa-maksa, nipu, atau ngomong manis tapi bohong demi closing. Orang yang lagi susah biasanya maunya kerja yang "jujur" dan "bermanfaat" di mata mereka. Merasa Jadi "Bagian dari Masalah": Setelah penjelasan sebelumnya tentang marketing yang manipulatif atau pendorong konsumerisme, beberapa orang merasa kalau mereka...